Juara 1 Lomba Cerpen Pahlawan Nasional 2019
“Yang Tak Terlupakan”
Oleh: Aisyah Kamila*
Apa kabar mereka?
Saat kita masih belia, Kita mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu para orang-tua bilang Taman Kanak-Kanak (TK), tempat berkumpulnya para belia yang masih lucu, menggemaskan, dan tanpa dosa. Disana, kita bertemu banyak muka, dengan status yang disebut “ibu guru”, menagajar kita mengenal angka, huruf, dan lagu-lagu. Masih ingatkah kita dengan lagu bintang kecil? Masih hafalkah kita dengan lagu naik-naik ke puncak gunung?
Di TK, kita memiliki banyak teman, dari teman yang sebutannya biasa saja, sampai ada sebutan teman akrab. Hingga menginjak sekolah dasar, saat kita tahu dan mengenal angka, huruf dan lagu, kita sudah bisa membaca, rangkaian kata penuh makna yang bisa kita baca. Alangkah bahagianya kita, temasuk mereka, orangtua kita. Dan yang kita sebut “ ibu guru” waktu di TK, tetap menjalankan tugasnya, mengajari anak-anak belia di TK. Apa kabar mereka?
Pikiranku mulai terusik dengan lamunan yang mengarahkanku pada hal-hal dari masa lalu. Dan hal-hal yang berhubungan dengan sosial. Saat ini, aku sedang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan mereka, orang-orang yang terpinggirkan, bahkan mungkin dilupakan. Di lupakan, bahwa ada pekerjaan seperti itu di dunia.
Ada rutinitas baru yang menjadi kesukaanku akhir-akhir ini. Di sela waktuku menunggu wisuda, aku memutuskan untuk libur sejenak dari padatnya kegiatan pesantren. Ya, aku santri di pondok pesantren yang berstatus mahasiswa semester delapan. Ternyata keputusanku membuatku bertemu dan menyibukkan diri untuk menemaninya setiap kali melakukan kegiatan itu. Kegiatan yang bagi sebagian orang mungkin adalah hal remeh. Remeh? Aku rasa tidak. Hal yang dilakukannya adalah mulya, menjadikan kotaku bersih dari banyak polusi udara akibat sampah yang berserakan dimana-dimana. Hal yang dilakukannya adalah berharga, menjadikan kotaku bersih dan nyaman untuk memanjakan mata. Setiap pagi menjelang, ia akan bersiap-siap dengan baju ala kadarnya, sampir khas nenek tua dan kain penutup kepala yang ia ikat kebelakang, tak lupa karung warna putih yang selalu dipanggul untuk menjadi tempat pemungutan sampah.
Selepas subuh, aktivitas masih sepi, tempat-tempat yang ramai saat siang dan malam di kotaku menjadi tujuan utama kami untuk berburu barang bekas, memungut kardus, plastik atom, atau apapun yang layak dipungut dan bisa menghasilkan rupiah. Sore itu, aku mengikutinya sampai ke rumahnya.
“Kau mengikutiku?” ekspresinya datar, aku hanya bisa tersenyum ramah, atau dipoles seramah mungkin agar ia mau menerima kedatanganku.
“Enggak apa-apa kan nek?”Nenek itu tak menghiraukan kata-kataku. Ia lalu menghampiriku, mengagetkanku dengan gerakannya yang spontanitas menarik tanganku.
“Sini duduk” Perintahnya. Aku pun mengikutinya. Nenek itu pun memberikan air minum, aku menerimanya dan meminumnya.
“Tak ada makanan nak, aku hanya bisa menyuguhkanmu air”
“ Enggak apa- apa nek, ini sudah lebih dari cukup. Ini saya bawa makanan untuk nenek, dan perkenalkan nama saya Alvi” Nenek itu berhenti mengunyah pinang, ia tersenyum.
“Terima kasih…sudah membawakanku makanan. Siapa nama lengkapmu?”
“Alvi Aula Cahya Ningrat”
“Kau keturunan ningrat rupanya” aku langsung menggeleng cepat.
“Bukan nek, hanya sebatas nama saja”
“Aku Mbok Ya, orang-orang memanggilku Mbok Ya. Pekerjaanku sebagai pemungut sampah…” Hari itu kami berkenalan. Dan aku memutuskan untuk membantunya besok bekerja.
-Pagi Setelah Hari Perkenalan-
Pagiku, ku awali dengan bertamu ke gubuk tua deket sungai. Gubuknya ukuran 3 x 3 meter persegi. Gubuk dengan bahan bernahan dasar kayu dan sulaman bambu yang terlihat sangat reot dimataku, bahkan pasti dimata orang-orang yang melihatnya, tidak pantas dijadikan tempat tinggal untuk nenek yang sudah berusia 75 tahun ini. Aku melihat mbok Ya sudah bersiap-siap dengan pakaian khasnya. Ia mengajakku keluar. Aku hanya mengikutinya, melangkahkan kaki kemana ia akan membawaku.
“Suasana pagi adalah hal yang paling menyenangkan untuk kita nikmati” Mbok Ya membawaku ke sawah. Ku lihat pemandangan yang luar biasa memanjakan mata, sawah-sawah yang berjejer mentereng dengan kesedapan warna hijau muda, angin pagi berhembus menyegarkan. Aku menutup mata, merasakan kesejukan rasaku menikmati keindahan alam di desanya.
“Inilah desaku, tanah tempatku dilahirkan, tanah tempatku berpijak” katanya lantang. Sembari duduk ditepian sawah sambil selonjoran. Aku mengikutinya, membiarkan bajuku kotor. “ Bajumu kotor” Katanya. Aku menggeleng tanda tidak apa-apa.
“Kau calon sarjana?” Tanyanya. Aku mengangguk lagi.
“Masa depan indonesia” katanya lagi. Aku hanya menjawabnya dengan kata-kata Amin. Mbok Ya maju melanjutkan kata-katanya.
“Indonesia itu ladangnya keindahan, gudangnya harta karun” katanya. Tanpa sempat bertanya, mbok Ya langsung melanjutkan.
“Ada ribuan tempat Indonesia yang sangat indah, pulau-pulaunya, lautnya yang biru, kaya budaya dan bahasa. Ladang sawah ini, adalah ciri khas Indonesia. Maha karya Tuhan dalam wujud alam. Kau lihat…” Sambil menunjuk kearah sawah yang sudah banyak para petani yang mulai bekerja.
“Para pekerja keras yang sabar, mereka adalah petani. Saat ayam berkokok para petani bersiap-siap pergi ke sawah, membajak sawah, memberikan pupuk terbaik, menunggu dengan sabar sampai bisa memetik panen. Setelah itu, dijual, kita makan. Tak peduli kelas bawah, kelas atas, semuanya makan nasi. Itulah ciri-ciri orang Indonesia, kalau belum makan nasi, berarti belum makan. Artinya, kalau petani tidak ada, rakyat Indonesia tidak makan nasi” Mbok Ya berhenti berbicara. Aku tercengang dibuatnya.
“Apa tanggapanmu tentang pemulung?” Mata mbok Ya menatap ke hamparan sawah yang hijau, tang membuat mata sangat sejuk untuk memandang.
“Pekerjaan yang mulya, baik mbok..” Mbok Ya hanya manggut-manggut.
“Kau tahu sejarah saat kita di jajah?” tanya mbok Ya lagi
“Tahu mbok, dari buku-buku sejarah” Jawabku cengengesan.
“Aku nututi, tapi masih cilik, kamu belum lahir…” Aku kembali memasang senyum munngil.
“Iyalah mbok aku belum lahir, ya kali aku udah dilahirin….aku kan masih muda. hehe” kataku dalam hati. Sambil senyum-senyum sendiri.
“Dulu, zaman penjajahan, aku masih cilik. Kalau ada pesawat terbang, aku sembunyi dibawah kolong dipan.[1] Aku takut, para kolonial datang menyerang, dengan senjata-senjata yang mereka miliki. Negeri kita mau merdeka itu susah ndok…ada banyak darah pejuang yang tumpah, yang di korbankan…makanya kamu sebagai anak muda, harus ingat jasa para pahlawan, wajib menjaga keutuhan negeri, jangan mau di jajah lagi dengan bangsa barat” Sambil menepuk-menepuk pundakku.
“Mbok Ya…benar-benar seorang pemulung?” Masih dengan rasa takjub aku mengucapkannya. Bukan menjawab, mbok Ya malah menjitak kepalaku, aku mengaduh sakit. “Dasar bocah ingusan…ayo cepat, kita akan terlambat mencari rezeki”. Aku langsung berdiri, membuntuti jalannya mbok Ya. Sesekali, aku melirik jam tanganku, 06.00. Tepat waktu juga.
Di tempat yang ramai dikunjungi orang saat malam minggu tiba, mereka yang sibuk berhuru hara saat malam minggu menyambut, manusia milenial menyebutnya weekend. Tempat berkumpulnya para kaula muda yang sedang jatuh cinta. Ya, tepat sekali. Kali ini kami berada disana, alun-alun kota. Tidak tahukah mereka kalau ada yang berjasa membersihkan tempat ini di pagi harinya? Selain petugas kebersihan, ada pemulung yang berjasa membuatnya bersih, membikinnya asri. Ku lihat mbok Ya dengan wajah gembira, meraup kaleng-kaleng bekas dari tanah, seperti seseorang yang memenagkan hadiah mobil lamborgini, begitulah raut muka mbok Ya. Aku ikut memungut bekas air botol yang berserakan di tanah, memasukkannya kedalam kresek hitam besar.
Aku menghampiri mbok Ya yang sedang duduk di bangku. “Capek mbok?”
“Beginilah kalau sudah tua renta. Tapi aku sudah terbiasa…” Aku memijat bahu mbok Ya. Mbok Ya mulai mengeluarkan kata-kata lagi.
“Jadi pemulung itu mulya nak, meski kita hanya bisa hidup dari sisa minuman atau barang bekas orang lain. Tapi pekerjaan itu menjadikan seluruh kota setidaknya asri, bisa mengurangi beban sampah yang menumpuk. Dan yang terpenting, jangan pernah membandingkan pekerjaan orang, selama yang dikerjakan itu halal. Yang perlu kamu tahu, pekerjaan itu ada dua: Pertama, pekerjaan yang menggunakan fisik, dan kedua…pekerjaan yang menggunakan otak atau pikiran. Tinggal kamu pilih…kamu mau pilih yang menggunakan fisik apa yang menggunakan otak. Dan setiap hal yang kamu pilih…selalu ada tantangannya ” begitu katanya.
Alih-alih aku belum selesai mencerna setiap patah kata yang dikeluarkan oleh mbok Ya, mbok Ya bangkit dan memulai mencari lagi apa yang bisa ia jadikan rupiah. Lihatlah ia! Ia tidak sungkan-sungkan mengorek tempat sampah yang mengeluarkan aroma tak sedap. Dengan teliti, ia mengambil barang bekas jika ada, air gelas atau botol bekas biasanya yang paling banyak, apalagi di pesantrenku, setiap pagi, ada beribu-beribu botol bekas yang bisa kita jumpai disetiap tempat sampah, tempat pembuangan sampah atau sudut-sudut yang rawan sampah. Tapi yang berjasa untuk itu adalah sang pemulung yang sangat baik hati, rendah hati memungut barang bekas yang ada.
Sekarung, biasanya ia membawa 10 kilogram. Dalam sekejap jalanan yang ramai itu terbebas dari sampah yang berserakan.
“Mbok…apa harapan mbok Ya di usia senja ini?”
“Usiaku sudah lebih dari setengah abad. Selisih sepuluh tahun lebih muda dari Indonesia merdeka. Aku ingin…pemerintah memberikan kebijakan yang mungkin berguna untuk kami, para pemulung”
“Semisal?”
“Ada upah tetap bagi pemulung di seluruh Indonesia” Aku berdecak tak percaya. Gila! Harapannya tinggi sekali. Bagi yang lulusan sarjana aja lagi fastabiqul khairat dalam mencari pekerjaan, dan ini…oh Tuhan!
“Kenapa? Bayangkan saja nak…kalau ada upah tetap bagi pemulung dari negara, jangankan satu alun-alun, lima alun-alunpun kita mau membersihkan, bukan malah mau enak-enakan nak. Tapi, coba saja, seluruh pemulung di Indonesia mendengar kabar ini, seluruh negeri tidak akan ada sampah berserakan. Karena pemulung-pemulungnya lebih giat dalam melakukan pekerjaannya! Selain ada tambahan pemasukan sendiri, pemulung juga dapat gaji tetap dari pemerintah. Ya mbok enggak mau mahal-mahal nak, yang penting bisa cukup makan nasi dua kali, itupun sudah alhamdulillah!”
Aku mendengar alasan dari mbok Ya, membuatku ingin membantunya saja untuk menyampaikan kepada pemerintah. Aku mikir apa ini.
“Ayo pulang, udah siang ini. Waktunya menghambakan diri pada pencipta” Aku pun mulai mengikutinya, melangkah pergi, meninggalkan alun-alun kota yang sudah bersih, jalanan juga sudah bersih, menuju tempat seorang pemulung yang hari ini memberikan pelajaran baru untukku, satu pelajaran baru. “ Suara Rakyat harus diapresiasi”
***
Sudah satu minggu aku selalu menemani mbok Ya dalam mencari rupiah dengan mencari barang-barang bekas di sekitar tempat yang ramai dikunjungi orang, atau tempat yang menjadi sarang nyamuk dan lalat. Tapi aku senang, membantunya memberiku jalan untuk mengenal dunia lebih dekat, mengenal kotaku dari sudut pandang yang tak biasa, dan terlebih mengenal negeriku lebih dalam, melihat negeriku dengan kacamata menawan, serta keindahan alam negeriku dengan mempesona. Ada satu hal yang mbok Ya amanahkan kepadaku, tentang apa yang akan aku sampaikan kepada bapak negeri jika aku berkesempatan bertemu dengannya. Semoga, aku bisa.
Suatu pagi di sawah tempat mbok Ya biasa bersuara tentang negeri ini, ia berkata, “ Apa yang ingin kau sampaikan kepada bapak negeri kalau kau punya takdir bertemu dengannya?”
“Cukup satu saja, saya ingin generasi milenial diberi ruang untuk semakin berkarya”
“Semoga, sampaikan juga salamku nak..yang kemaren aku bilang itu” Kamipun tersenyum bersama.
“Kau calon sarjana, harus bisa memberikan yang terbaik buat negeri ini, apa namanya kalau bahasa kerennya itu nak? Mbok enggak tahu…..”
“Kontribusi mbok..”
“Ya itu…apapun namanya…kita bangsa Indonesia satu, harus punya tekad kuat untuk membangun negeri. Kau tahu…negeri ini kaya, punya harta karun yang bikin iri dunia, pulaunya, daerahnya, sukunya, makanannya, budayanya, semuanya nak, semua ini harta karun Indonesia yang harus kita jaga, kita lestarikan”
“Satu lagi, setiap pekerjaan yang mendatangkan kemulyaan itu mulya, jangan pernah mengeluh dengan takdir Tuhan nak, tuhan tahu apa yang terbaik untuk ciptaanNya. Usaha, doa lalu serahkan padaNya. Dan yang terpenting, jalan ini, jalani, Nak!”
“Siap mbok, saya janji” Aku menyilangkan jari kelingkingku ke jari kelingking milik mbok Ya. Mbok Ya hanya memasang wajah tanpa dosanya. Aku tersenyum.
“Ini namanya simbol perjanjian mbok”
“Seperti anak kecil saja”
“Kalau kamu ingin menjadi rakyat yang membangun negeri, kamu harus berprestasi nak dan juga berkarya, kuncinya itu. Begitu pula jalanmu untuk bertemu bapak negeri, bahkan tokoh terkemuka dunia”
“Oh iya mbok…keluarga mbok kemana?” Aku melihat mata mbok ya berkaca-kaca.
“Astaga…aku salah bertanya” aku memegang tangan mbok Ya, memberikan stimulus berupa kekuatan melalui sentuhan tangan. Mbok Ya terus menangis, sampai akhirnya ia mulai bercerita lagi.
“Suamiku meninggal sejak aku umur 23 tahun. Aku dulu tamatan SMA. Aku menikah setelah lulus SMA. Aku punya anak dua, satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka sudah menikah semua. Setelah menikah mereka tinggal di rumah pasangannya masing-masing. Aku tidak dibawa, dan aku memang tidak ingin dibawa. Karena aku lebih nyaman hidup disini, tempat yang sangat kecil, namun penih ketenangan. Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tidak bertemu mereka, tapi biarlah…mereka hidup dengan kehidupan mereka aku dengan kehidupanku. Yang terpenting, orang tua selalu mendoakan kebaikan terhadap anaknya. Kalau kamu ikhlas menjalani takdir Tuhan, kamu pasti tidak akan pernah merasa kekurangan. Yang terpenting itu bersyukur nduk…dan jalan ini, jalani!” Mbok Ya menghentikan ceritanya.
“Terima kasih Mbok…sudah memberikan pengalaman hidup dan wejangan yang sangat bermanfaat ini” Aku memeluk mbok Ya dengan erat. Dan Mbok Ya juga memelukku.
***
Aku menemukan makna dari setiap nasehat yang diberikan mbok Ya. Ya, melihat sisi lain dari setiap pekerjaan yang ada di bumi, sisi lain dari pekerjaan yang jarang dipikir oleh orang.
Pemulung!
Sebuah pekerjaan dengan mencari sampah bekas baik itu kardus ataupun botol plastik yang masih dapat di daur ulang sehingga dapat dijual ke agennya. Lalu dengan itu, mereka bisa mendapat upah dan membeli makan meski hanya cukup dengan sesuap nasi. Dengan pendapatan yang tidak seberapa, mereka rela mengais sampah dari tong sampah yang satu ke tong sampah yang lain untuk mendapatkan rupiah. Aku tahu, menjadi pemulung bukanlah keinginan mereka, karena setiap orang pasti membutuhkan kesenangan dan hidup enak. Namanya juga man-nusia.[2] Mayoritas orang memandang kalau menjadi pemulung itu suatu pekerjaan yang buruk. Tapi disisi lain, ia adalah pekerjaan mulya yang memerlukan usaha dan semangat serta kerja keras untuk mendapatkan sesuap nasi. Dan pekerjaannya adalah memungut sampah yang kadang berada di tempat kumuh yang membuat orang kadang jijik melihatnya. Tidaklah salah apabila seseorang mencari rezeki dengan berprofesi sebagai pengulung karena dalam agama juga tidak ada yang melarang hal itu. Bahkan agama melarang kita meminta-minta selama fisik kita masih bisa digunakan untuk bekerja. Terkadang aku miris, jika melihat tulisan-tulisan yang di tempel di tempat-tempat umum bahkan dikampus yang menulis ‘pemulung dilarang masuk’, padahal jika di nilai dari jasa, jasa mereka sangat berguna untuk membersihkan sampah yang berserakan. Pemulung juga membantu dalam hal kebersihan, misalkan ada acara-acara yang diadakan oleh pihak kampus, setelah selesai acara pastinya banyak sampah yang berserakan di tempat tersebut.
Pemulung!
Pahlawan dengan jasa memberikan sampah. Bisakah kita menyebutnya seorang pahawan? Bagiku sangat bisa. Karena tanpa pemulung, mungkin kita tidak akan bisa melihat sudut kota atau daerah dengan ramah lingkungan. Banyak sampah yang berserakan dimana-dimana. Ada banyak sebutan itu pahlawan: Guru, ibu, ayah, orang yang berjuang demi negara. Bahkan, orang yang paling berjasa untuk hidup kita kita akan sebut ia pahlawan. Intinya, “Pahlawan adalah ia yang tak henti bergerak, yang memahat peradaban dengan hati dan perbuatan, dalam sunyi atau gempita.” Ini kata Bunda Helvi Tiana Rosa, Penulis dan sodara dari penulis buku terkenal dan best seller, Asma Nadia.
Dan setiap pagi, selama masa liburan dan senggang waktu menunggu wisuda, aku selalu menemani mbok Ya untuk mencari rupiah dengan mengais sampah-sampah yang berserakan, atau yang ada di tong-tong sampah. Setiap pagi, sebelum jam enam, kami selalu menyempatkan diri berbagi cerita di sawah, tempat yang paling nyaman untuk menikamti semilir angin dan hijaunya alam raya. Aku suka sekali mendengar cerita mbok Ya, karena berisikan pengalaman hidup dan membuatku seakan tidak mau melupakan hal-hal yang bahkan ingin ku lupakan. Membuatku selalu ingin berlama-lama dengan mbok Ya.
Setiap pagi, aku selalu bersemangat bangun pagi, lalu ibu selalu menitipkan salam dan bekal untuk mbok Ya. Kami sudah sangat akrab. Seperti keluarga. Aku senang bersama mbok Ya, begitupun mbok Ya, sepertinya..hehe.
Kata-kata mbok Ya seperti magnet untukku agar aku selalu mengingatnya, dan melaksanakannya. Kami saling berdiskusi. Ternyata benar, bahwa mencari ilmu bisa dimana saja, tidak hanya bisa di dapat di bangku sekolah, alam ini sangat luas dengan ilmu pengetahuan. Kehidupan ini sangat luas akan keilmuannya. Tinggal kita yang mau mencarinya atau hanya diam dan menjadi penonton ilmu pengetahuan.
Mbok Ya pernah berkata “Jangan pernah berhenti berjuang, jangan pernah patah semangat dalam berjuang. Dan jangan pernah lupakan setiap perjuangan, ingatlah prosesnya. Jika jatuh bangkit lagi, itu hal biasa. Sampai kau menang, kalaupun kalah…kau tetap menjadi pemenang karena telah berjuang” Kata-kata mbok Ya ini sama maknanya dengan kata bijak dari seorang ulung, pahlawan Indonesia, yang mungkin sebagian orang sudah melupakan namanya, atau bahkan ada yang tidak tahu, atau mungkin sebagian orang masih mengingatnya.
“Setiap pejuang bisa kalah dan terus-menerus kalah tanpa kemenangan, dan kekalahan itulah gurunya yang terlalu mahal dibayarnya. Tetapi biarpun kalah, selama seseorang itu bisa dinamai pejuang dia tidak akan menyerah. Bahasa Indonesia cukup kaya untuk membedakan kalah daripada menyerah” ― Pramoedya Ananta Toer
***
MemorI bersama mbok Ya masih segar dalam ingatanku, memacu adrenalinku, menghempaskan rasa malasku, bahkan semakin memuncak semangatku untuk menjadi rakyat negeri yang berprestasi dan berkarya. Aku tidak bisa menggambarkan betapa indahnya negeri Indonesia, tempatku dilahirkan, bumi tempatku menatap dunia. Aku hanya rakyat negeri yang memiliki rasa cinta tanah air dan dimiliki setiap rakyat Indonesia.
Di usia senja yang seharusnya ia lewati bersama keluarganya, berkumpul dengan keluarga yang sangat dicintainya, tapi ia memilih hidup sendiri, mencari rezeki sendiri, aku belajar bagaimana memaknai setiap hal dengan lebih bijaksana, bagaimana mencintai setiap pengorbanan, bagaimana mencintai pekerjaan yang bahkan tidak pernah orang berniat menjadi atau memilih pekerjaan itu.
Bersama mbok Ya, aku belajar bahwa setiap orang ada pahlawan, pahlawan untuk dirinya sendiri, pahlawan untuk keluarganya, pahlawan untuk negerinya, dan pahlawan untuk agamnya. Semoga kita tidak melawan lupa, bahwa setiap orang yang hadir dalam hidup kita adalah berharga, yang tidak bisa kita lupakan begitu saja, yang tidak bisa kita abaikan dengan entengnya.
Aku dan mbok Ya hanya rakyat negeri yang rela berjuang demi negaranya, rela menghalau peluh demi negaranya. Lewat pengalaman dengan mbok Ya, sang pemulung diusia senja yang seharusnya sudah duduk manis melewati bahagia, aku belajar bagaimana melihat negeriku dari kacamata indahnya. Bagaimana mncintai negaraku melalui rakyat biasa seperti mbok Ya. Benar kata Soe Hok Gie,
“Mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbukan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat”.
-Selesai
[1] Tempat tidur yang terbuat dari kayu jati
[2] Dalam bahasa arab artinya orang yang lupa. Manusia memiliki sifat mutlak yakni lupa, lupa pada bersyukur karena terlalu banyak mendapatkan nikmat, dan lain sebaginya.