Juara 2 Lomba Cerpen Pahlawan Nasional 2019
“Pasukan Putih”
Oleh: Juita Kenanga Sari
Gelap malam mulai menyapa sebagian tempat di muka bumi, Tak terkecuali pada suatu tempat bernama Jakarta. Siapa yang tidak mengenal kota yang satu ini? suatu tempat yang di dalamnya menggenggam jutaaan mimpi anak-anak manusia, tempat yang cukup keras untuk sebuah kehidupan hamba-hamba Tuhan yang sejatinya memang lemah di hadapan-Nya. Sebutannnya saja yang ibu kota, tapi kota ini tak segan memperlakukan siapa saja yang datang padanya tidak seperti anak, bahkan kebanyakan orang setuju bahwa tidak ada sentuhan keibuan di kota ini, julukan Jakarta lebih kejam dari ibu tiri dibenarkan oleh kebanyakan orang yang datang padanya dan merasakan langsung tentang pahit getir menjadi warga ibu kota, mengadu nasib demi mewujudkan mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak bagi dirinya dan yang ditinggalkan di kampung halaman, tak terkecuali bagi Larissa. Larissa seorang gadis kecil yang menopang mimpi begitu besar pada pundak dan kepalanya, ia adalah perantau dari Andalas, tepatnya di penghujung selatan Sumatera, anak-anak manusia sebut tempat itu adalah Lampung, si surganya pisang. Seperempat Windu sudah ia berada di kota yang keras ini seorang diri, meninggalkan segala yang ia cintai di kampung halamannya, suatu tempat yang di dalamnya memuat kenyamanan karena terdapat istana dan surga yang pasti baginya yaitu kedua orangtua hebat yang sangat ia cintai. Semua itu ia lakukan demi mewujudkan mimpi besarnya untuk menjadi seorang sarjana di salah satu Universitas Islam Negeri di Jakarta.
Lalu lalang anak-anak manusia yang berpulang ke tempat tinggalnya semakin ramai, kemacetan sudah menjadi hal yang lumrah, wajah-wajah lelah mulai menghiasi sedtiap sudut ibu kota. Suara azan mulai menggema dari segala penjuru sebagai panggilan Tuhan kepada hamba-hamba-Nya untuk kembali pada pelukan-Nya, di setiap sujud anak-anak manusia yang raganya dikuasai lelah. Saat seperti itulah menjadi momen yang tepat bagi anak-anak manusia selaku hamba-Nya mengadukan kelelahan demi kelelahan, kesulitan dan segala pahit getir sebuah kehidupan. Tak terkecuali bagi Larissa, ia pun tak pernah melupa untuk melaksanakan kewajibannya sebagi seoarang muslimah, baginya shalat adalah sesuatu yang harus ia jaga sebagi penopang keimanannya, terlebih ia yang berada dalam cengkraman ibu kota dengan segala gemerlapnya, bergeser sedikit saja keimanan bisa membuat siapa saja terjatuh pada jalan yang salah. Sujud demi sujud telah ia lalui, hingga menemui salam sebagai pengakhir shalat. Doa demi doa pun ia bisikkan pada as-samii’ sebutan untuk Ia yang Maha Mendengar. Tak lupa, ia meraih sebuah Al-Quran kecil yang di bawanya dari kampung halaman, masih begitu membekas dalam ingatannya bahwa Al-Quran itu adalah pemberian ibunya. Masih sangat jelas dalam ingatannya saat ia berpamitan, sang ibu meneteskaan kristal-kristal dari kedua bola matanya sembari mengucapkan kata demi kata dengan nada gemetar dan nafas yang tak teratur, hanyut dalam keharuan.
“Berangkatlah engkau anakku, kejarlah apa yang ingin engku kejar, emak dan bapak meridhai langkahmu. Pada setaip sisi hidupmu ada doa-doa kami yang tak pernah terjeda kami langitkan untuk menjagamu di kejauhan sana. Kami menunggu kabar suksesmu di sini, tapi perlu kau ketahui nak, tidak ada yang lebih kami inginkan daripadamu melebihi keinginan kami untuk kau meraih kesuksesan akhirat, keshalihahanmu yang akan mengantar kami pada Jannah-Nya.” itulah kalimat yang selalu ia simpan di kepalanya, sebisa mungkin ia menyeimbangkan upaya untuk meraih sukses dunia dan akhirat.
Lembar demi lembar bacaan ayat suci telah ia lantunkan dengan khidmat, seketika riuhnya ibu kota terjeda saat ia terhanyut dalam khusyuknya ibadah.
Waktu tentu tak lelah berputar, Larissa tak ingin menyia-nyiakan setiap anugerah waktu yang ia miliki, terlebih ia paham betul bahwa semua yang ia lakukan akan dimintai pertanggungjawaban, begitupun masa muda yang sedang ia lewati. Lembar-demi lembar buku telah ia baca sebagai bekal dasar sebelum ia memulai belajar di kelas esok hari. Riuhnya ibu kota seakan tidak ada bagi Larissa, ia benar-benar sedang berada pada puncak konsentrasinya malam itu. Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu depan kosannya.
“ Assalamu’alaikum..”
Suara laki-laki itu memecah keheningan dan konsentrasi Larissa.
“Wa’alaikumsalam, sebentar.” sahutnya dari dalam.
Iapun bergegas menuju pintu depan dan sejenak mengintip dari jendela untuk memastikan siapa yang datang. Seketika jantungnya berdebar dengan kencang. Bagaimana tidak, ternyata pemuda yang mengetuk pintu itu adalah Faiz. Faiz adalah senior Larissa yang sama-sama berada di fakultas sains. Sudah lama Larissa mengagumi sosok faiz yang sangat berprestasi dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial, namun tidak pernah ada kesempatan bagi Larissa untuk mengenalnya lebih jauh, dan tidak ada kenginan lebih untuk mengenalnya, semua murni pada batas kekaguman Larissa terhadap sosok kakak tingkatnya yang cukup populer itu. Larissa segera meraih pintu dan membukanya.
“Iya, cari siapa kak?” tanya Larissa, seolah-olah tidak mengenal Faiz. “ Maaf, kamu yang namanya Larissa? “ Iya benar kak, saya Larissa”, “Kenalin saya Faiz, saya nemuin dompet ini di perpusnas tadi sore, dan kebetulan ada alamat lengkap dan kartu identitas yang kamu tinggalin di dalam, jadi saya bisa kesini buat ngasihin ke kamu. ini bener punyamu?’’ tanya Faiz memastikan.
Seketika Larissa terkejut dan baru menyadari bahwa dompetnya memang terjatuh saat terburu-buru meninggalkan Perpustakaan Nasional pada pagi harinya.
“ Ya ampun, iya kak. Ini bener punyaku, termakasih banyak kak’’.
“ Iya sama-sama, silahkan di cek barang-barangnya siapa tau ada yang hilang”.
“ iya alhamdulillah lengkap semua kak, sekali lagi termakasih banyak kak, saya nggak tau lagi harus ngomong apa”.
“Sama-sama. Santai ajalah.” Jawab faiz sembari tertawa kecil yang sedikit mencairkan suasana.
“ O iya, silahkan duduk dulu kak.”
“ Iya terimakasih, tapi saya harus buru-buru pulang, lagian ini cuacanya mendung.
“Iya kak, sekali lagi terimakasih.’’
“ oke, sama-sama. saya pamit ya, Assalamualaikum.”
“ Waalaikumsalam”.
Waktu kian berevolusi, pagi kembali menyapa Jakarta yang sejatinya tak pernah beristirahat dari keramaian dan kesibukan oleh ambisi anak-anak manusia di dalamnya. Larissa kembali menjalani aktivitasnya sebagai seorang mahasiswa. Tidak terasa dua mata kuliah telah ia lalui, ini berarti ia sudah bisa untuk pulang ataupun kembali berkutat dengan tugas dan kesibukan organisasi, tapi hari itu ia memang sudah tidak ada tugas untuk dikerjakan ataupun keperluan di organisasinya. Kakinya melangkah meninggalkan kelas dan berhenti di depan sebuah majalah dinding, matanya tertuju pada sebuah poster pengumuman lomba menulis puisi bertema pahlawan
“ Hmm, udah lama aku nggak nulis puisi. Kayaknya aku harus ikutan lomba ini deh” gumamnya dalam hati.
“ Nggak kerasa udah memperingati hari pahlawan lagi aja ya” ucap seseorang yang ada di belakangnya, dan suara itu tidak asing bagi Larissa. Seketika Larissa memutar badannnya, dan benar saja dugaanya bahwa itu adalah suara dari Faiz.
“ Eh kak Faiz, udah lama di sini kak?” tanya Larissa yang berusaha menyembunyikan kebahagiannya karena di sapa oleh orang yang ia kagumi.
Keduanya pun bercengkrama dan ternyata Faiz juga sudah tidak ada mata kuliah lagi siang itu.
“ Berhubung kamu sudah nggak ada kegiatan, mau bantuin aku ke panti asuhan dekat kampus ini nggak? Soalnya hari ini jadwal buat nyerahin donasi buku yang udah dikumpulin sama komunitas peduli membaca, kebetulan teman-teman yang lain masih pada sibuk. Cuma ada beberapa teman yang udah ada di sana”
“ Wah, mau banget kak” jawab Larissa antusias.
Perjalanan keduanyapun dimulai, mereka menyusuri perjalan di tengah perkasanya gedung-gedung yang menjulang tinggi menyapa langit, sedang para hamba Tuhan berlalu lalang di bawahnya mencari penghidupan. Mereka menuju panti dengan berjalan kaki agar bisa cepat sampai karena lokasi panti tidak jauh dari kampus, sedangkan buku-buku yang akan di donasikan diangkut oleh ojek. Di tengah perjalanan Larissa tiba-tiba bertanya untuk mencairkan suasana.
“Kak, berhubung bentar lagi hari pahlawan aku mau tanya dong, makna hari pahlawan bagi kakak itu apa ? dan siapa yang kakak anggap pahlawan di era ini ?” Faiz tersenyum sejenak, dan kemudian mulai menjawab pertanyaan Larissa.
“Ya, menurut aku peringatan hari pahlawan itu momentum bagi kita untuk tidak hanya memperingati tetapi juga menyiapkan diri kita untuk menjadi The Next Hero. Dan bagi kakak sendiri pahlawan era sekarang adalah siapa saja yang termasuk ke dalam pasukan putih”.
“Hm, maksud kakak pasukan putih itu siapa?”, tanya Larissa dengan mengerutkan dahinya.
“Iya pasukan putih, aku suka menyebutnya begitu. Pasukan putih. Yaitu siapa saja yang berbuat kebaikan dan hal-hal positif dalam kehidupan ini agar bisa menjadi lebih baik, yang berperilaku selayaknya manusia sebagai khalifah di muka bumi ini”.
Larissa masih terdiam dan ia masih kebingungan dengan penjelasan faiz, kepalanya di penuhi tanda tanya.
“Hehe, aku masih bingung kak”, ungkap Larissa.
“Jadi gini, pasukan putih itu salah satu contohnya si pemulung itu (Matanya mengarah pada pemulung yang tengah mengambil sampah), dia salah satu dari pasukan putih yang ku maksud, dia adalah pahlawan.” ujarnya.
“Kenapa pemulung itu bisa jadi salah satu pasukan putih? pahlawan ?”
“Iya, dia adalah pahlawan bagi kota ini. Karenanya kota ini jadi sedikit berkurang sampahnya, selain itu ia juga adalah pahlawan bagi dirinya sendiri untuk mempertahankan harga dirinya sebagia seoarang manusia, dia nggak malas-malasan dan terus berjuang mencari rezeki yang halal, setidaknya dia tidak mengemis. Sedang orang-orang yang suka membuang sampah sembarangan itu adalah penjajah, sekarang ini tanpa disadari banyak dari kita yang mengaku mencintai negeri ini. Tapi membuang sampah saja sembarangan, itu udah termasuk menjajah bangsa kita sendiri, kita menjajahnya dengan sampah, sehingga alam tercemar, makhluk-makhluk Tuhan berupa hewan banyak yang mati, ekosistem menjadi terganggu. Bukan berati kita juga harus memulung, dengan membuang sampah pada tempat sampah aja udah termasuk menjadikan kita bagian dari pasukan putih itu” papar faiz pada Larissa sembari mengambil sampah plastik yang tergeletak di tengah jalan dan memasukkannya pada tempat sampah. Larissa hanya tersenyum mengangguk tanda ia telah mengerti.
“Pasukan putih juga sebenarnya sederhana Sa, dengan kita tidak bolos kuliah dan tekun menjalani pendidikan itu juga sudah termasuk pasukan putih. Dengan kita tidak menghakimi diri sendiri kita telah menjadi pasukan putih setidaknya untuk diri kita sendiri, untuk kesehatan mental kita. Dengan menahan diri untuk tidak mencela seseorang juga termasuk bagian dari pasukan putih, setidaknya dengan begitu kita bisa menyelamatkan mental dan kepercayaan diri seseorang, atau sesederhana mendengarkan lawan bicarapun kita sudah menjadi bagian pasukan putih karena kita telah menyelamatkan kebermaknaan lawan bicara kita, mereka merasa bermakna dengan kita mendengakan dirinya. Jadi gimana, sudah faham maksudku?”
“ Masyaallah kak, aku dapetin banyak pembelajaran hari ini sama kakak. Ternyata semua dari kita bisa untuk menjadi pahlawan, menjadi bagian dari pasukan putih seperti yang kakak maksudkan, ya minimal bagi diri kita sendirilah ya.” jawab Larissa.
“Alhamdulillah kalo kamu sudah mengerti, tapi ya itu dari sudut pandangku aja, kamu juga berhak untuk tidak setuju.” tegas Faiz.
“ Aku sih setuju banget sama kakak, yang penting kita melakukan yang terbaik untuk diri kita sebagai manusia maupun segala hal yang telah Tuhan cipta dengan begitu sempurna.” jawab Larissa.
Langkah demi langkah kaki yang mereka ayunkan telah membuat mereka sampai pada tujuannya yaitu yayasan panti asuhan. Tidak berselang lama buku-buku yang dibawa ojekpun telah tiba, mereka menghabiskan sisa waktu hari itu bersama anak-anak yatim piatu di yayasan. Hingga kedua mata Larissa tertuju pada sosok gadis kecil di sudut ruang tengah panti asuhan itu. Ia tengah melukis asma al-husna dibubuhi dengan pemandangan alam. Lukisannya sangat indah, gadis kecil itu terlihat sangat berbakat dalam melukis. Namun ia melihat kaki sebelah kanannya tidak ada, mata sebelah kirinya juga mengalami kebutaan. Pemilik yayasan menjelaskan bahwa gadis kecil itu bernama Anggi, ia mengalami kecacatan karena kecelakaan yang menimpanya dan keluarga, hal itu jugalah yang menyebabkan Anggi bisa berada pada yayasan panti asuhan ini. Seketika kristal-kristal suci itu terjatuh membasahi pipi Larissa. Dia tidak bisa membayangkan jika ia yang berada di posisi anak kecil itu, perlahan Larissa menghampiri anak kecil itu, ia memeluknya.
“ Anggi sayang, kamu cantik sekali. Kamu istimewa, kamu kuat sekali dek. Orangtua kamu pasti bangga memiliki anak yang hebat seperti kamu. Insyaallah kelak kamu akan menjadi orang hebat sayang. Tetaplah menjadi kuat, jadilah shalihah yang mampu membantu kedua orangtuamu menuju syurga Allah dengan do’a-do’a darimu dek.” ujarnya penuh haru pada Anggi.
Anggi hanya terdiam menatap Larissa, terlihat mata Anggi berkaca-kaca, dari sudut matanya mengalir airmata kerinduan dan kehampaan, mengisyaratkan kerinduan mendalam dan kehilangan yang menyakitkan dalam hidupnya. Rumpang hidup seorang gadis kecil sepertinya kehilangan orang yang sangat ia cintai. Tak ada balasan kata yang terlontar dari mulut Anggi yang mungil itu, ia terlihat ingin bicara namun haru membuat suaranya tertahan di tenggorokan. Perlahan tangan anggi meraih pundak Larissa yang memeluknya, semakin erat dekapan keduanya, mereka hanyut dalam kehangatan di penghujung hari yang langitnya semakin menguning menjemput malam itu. Larissa tidak mampu menahan haru di langit perasaanya, selama ini ia merasa mengalami banyak kesulitan menjadi seorang perantau yang tinggal jauh dari kedua orangtua, dan segala yang ia cintai, tetapi bertemu Anggi dan seluruh anak-anak yatim-piatu di yayasan itu ia kembali diingatkan bahwa tidak ada kejauhan yang mencipta rindu yang pahit dan perihnya melebihi pahit dan perih karena perpisahan yang tersebab kematian.
Senja kembali menyapa, lembayung-lembayung dan sedu sedan bercampur haru menjadi bagian dari cerita hari itu. Faiz dan Larissa harus kembali untuk pulang. Kata pamit akhirnya terlontar pada pengurus yayasan dan seluruh anak panti asuhan. Larissa kembali memeluk Larissa seraya berkata
“ Terimakasih telah menjadi pahlawan bagi kakak hari ini sayang, dengan bertemu kamu dan tahu tentang kisahmu kakak telah terselamatkan dari kehilangan rasa syukur, bertemu kamu membuat kakak menjadi kembali bersyukur akan segala yang kakak miliki.” Anggi hanya mengangguk dan di setiap sudut bibirnya melengkung mencipta senyum yang begitu manis.
Langkah demi langkah kaki Faiz dan Larissa mulai pergi menjauh meninggalkan yayasan panti itu, namun ada suara yang memanggil dari belakang.
“Dek, dek. Tunggu sebentar ! ini ada surat dari Anggi buat Larissa” ucap wanita paruh baya yang merupakan pengurus panti itu setengah berlari ke arah Larisssa sembari menyerahkan kertas berwarna biru muda yang terlipat rapi .
“ O iya buk, saya terima. Tolong samapaikan terimakasih saya untuk Anngi.” tutur Larissa pada pengurus panti itu.
“ Wah, surat apa itu?”, tanya Faiz penasaran. Perlahan surat itu dibuka Larissa dengan penuh kehati-hatian, dan ketika surat itu terbuka seketika itu matanya berkaca-kata, iapun tak mampu lagi membendung semuanya. Ternyata isi surat itu adalah berupa ucapan terimakasih Anggi untuk Larissa.
Terimaksih kak Larissa, sudah bilang aku cantik hari ini.
Dulu ayah dan bunda juga suka bilang aku gitu, sekarang mereka sudah tidak ada, aku tidak pernah di bilang cantik dan kuat lagi setelah kepergian mereka.
Terlebih sekarang aku sudah kehilangan kaki kananku dan mataku tidak bisa melihat sebelah.
Tapi hari ini kakak datang dan bilang seperti itu.
Terimakasih kakak, aku jadi semangat lagi untuk terus jalani hidup setelah beberapa kali terpikir dan mencoba untuk mengakhiri hidup yang penuh dengan ujian ini.
Bertemu kakak aku seakan melihat ibu, terlebih saat kak Rissa peluk Anggi, seolah ibu sedang memeluk Anggi.
I love U Kak Rissa.
Begitulah isi surat itu yang diakhiri dengan bubuhan gambar hati. Seketika Faiz mengatakan
“Selamat, hari ini kamu sukses jadi pasuakan putih, kamu sudah menjadi pahlawan bagi kepercayaan diri Anggi, kamu sudah selamatkan mentalnya, Sa.” ungkap Faiz yang ikut bahagia.
“ Iya kak, aku akan bertekad untuk terus menjadi bagian dari pasukan putih ini. Di luar sana ada orang-orang hebat, yang menjalani hidup jauh lebih susah dari kita. Dan sekecil apapun hal positif yang kita lakukan bisa menyelamatkan kehidupan orang lain.” ungkapnya yang menjadi obrolan penutup mereka senja itu.
Senja semakin menguning, keduanyapun berpisah di halte dan menaiki bus dengan arah berbeda untuk kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Kepulangannya disambut suara adzan, Larissa bergegas mandi dan lanjut berwudhu, dan kembali bersimpuh ia di hadapan Sang Khalik. Dalam dekapan malam yang semakin Larut ia berbisik dalam doanya untuk dikuatkan menjadi bagian dari pasukan putih, dimanapun ia berada. Sebagaimana pahlawan bagi Larissa telah sampaikan yaitu kedua orang tuanya, agar dirinya terus berada dalam lingkar kebaikan hingga meraih kekusksesan dunia dan akhirat, terutama akhirat yang menjadi sebenar-benar tempat untuk kembali dan memenangkan Jannah-Nya.
Lalu Jakarta terus berlanjut dengan riuhnya, dipenuhi kesibukan yang masih belum menemui istirahat meski di penuhi dengan wajah-wajah penat dari sejuta ummat. Lampu-lampu yang menerangi ibukota menjadi saksi perjalanan anak-anak manusia dalam segala prosesnya untuk terus bergerak dalam upaya mewujudkan mimpi menjadi nyata, gedung-gedung perkasa yang tak mampu mengkerdilkan mimpi orang-orang kecil di sekitarnya turut andil menjadi saksi atas segala perjalanan hidup manusia yang di penuhi dengan tanda tanya.
Selesai melaksanakan ibadah yang penuh khusyuk, Larissa memandangi potret kedua pahlawannya yang tertempel di dinding kamar kosan. Seluruh anggota tubuhnya gemetar, segala upaya ia kerahkan untuk bangkit dari lantai. Ujung jari jemarinya yang lentik menyentuh kedua gambar diri orangtuanya. Sesenggukan mulai memenuhi langit-langit kamar Larissa, rasa syukur tak henti ia lantunkan bersama dengan malam yang semakin larut dalam gelap. Hari itu ia mendapat banyak pembelajaran, terutama dari anak-anak yatim piatu, terlebih Anggi yang menjadi salah satu pasukan putih dan telah mampu menyelamatkannya dari kehilangan rasa syukur atas segala yang ia miliki. Perlahan tubuhnya bergeser menuju tempat tidur, tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Matanya berkaca-kaca mencari kontak pahlawan di hidupnya yaitu sang ibu yang sangat ia cintai. Tak berlama-lama, ia langsung menelepon ibunya yang sudah lama tak ia kabari karena kesibukan yanng menyita waktunya. Tangisnya pecah saat ia menanyakan kabar kedua orangtuanya dan dengan terang-terangan menyampaikan rindu yang menggebu terhadap orangtua yang sangat ia cintai itu. tak lupa ia meminta maaf atas segala kesalahan yang telah ia cipta dan belum mampu untuk membahagiakan mereka. Tentu mendengar apa yang di sampaikan Larissa membuat haru menyelimuti kedua orangtua Larissa, mereka menyampaikan kembali tentang harapan mereka, tentang keinginannya untuk Larissa lebih memprioritaskan keberhasilan meraih sukses akhirat dengan keshalihahannya. Menjadi manusia yang penuh kebermanfaatan untuk dirinya seniri, orangtua, keluarga, bangsa dan terutama agama. Mendengar perkataan ibunya membuat Larissa menjadi kian bersemangat untuk melanjutkan perjuangannya di ibu kota dalam upaya mewujudkan segala asa yang ia bawa dari desa.
Malam kian larut dalam segala cerita anak manusia dan segala cerita lelahnya. Larissa yang telah selesai menelepon orangtuanya tiba-tiba teringat akan sosok Faiz. Ia baru tersadar bahwa hari ini faiz telah menyelamatkannya dari kehilangan kebermaknaan dalam hidup, segera ia mencari kontak Faiz di aplikasi whatsapp pada ponselnya. Hampir saja ia menekan tombol panggil, namun saat ia menatap jam dinding waktu sudah menunjukan pukul 22.25, ia mengurungkan niatnya untuk menelepon. Tentu tidak etis jika ia menelepon malam-malam seperti itu. Akhirnya ia memutuskan untuk menulis pesan saja dengan tulisan yang singkat.
“Asslamualaikum kak, terimakasih atas perjalanan hari ini. Kakak telah membantuku menemukan perspektif baru tentang arti dari pahlawan, tentang pasukan putih yang telah kakak jelaskan pada saya. Hari ini kakak telah menjadi bagian dari pasukan putih dalam kehidupan saya kak, kakak telah menjadi pahlawan yang menyelamatkan saya dari kehilangan kebermaknaan dalam hidup. Semoga Allah memberkahi hidup kakak.”
Pagi kembali menyapa, Larissa kembali menjalani rutinitasnya di kampus pagi itu. Ia mengecek ponselnya dan mengecek pesan masuk yang ada di aplikasi whatsapp, ada banyak sekali pesan yang masuk. Tapi tidak ada satupun pesan balasan dari Faiz, bahkan tanda pesan telah terbacapun tidak ada. Langkah kaki Larissa terus bergerak menuju perpustakaan di fakultasnya, namun indera penglihatannya masih tetap terfokus pada ponsel yang tak pernah luput dari genggaman tangannya sejak tadi. Tiba-tiba langkah kaki Larissa terhenti saat berada di depan pintu perpustakaan, matanya terbelalak menatap ponsel dan seketika ia berbalik arah meninggalkan perpustakaan, ia berlari menuju kelas yang bukan kelasnya. Seketika itu ia benar-benar berada dalam kebingungan, dari kejauhan tampak ia tengah berbincang dengan para seniornya. Kemudian Larissa keluar meninggalkan kelas bersama beberapa senior yang ia ajak berbincang-bicang. Mereka pergi meninggalkan kampus dengan langkah terburu-buru menuju halte, bus pun membawa mereka menyisiri ibukota menuju menuju kemayoran. Tak banyak perbincangan yang mereka lakukan, bus semakin melaju membelah jalan-jalan yang dipenuhi kemacetan. Kemudian bus yang membawa mereka terhenti pada suatu halte. Larissa dan para seniornya turun dan berjalan setengah berlari memasuki kawasan luas yang berpagar besi hijau, dari kejauhan Larissa melihat pasuakn hitam di kawasan itu, jarak antara dirinya dan pasukan hitam tidaklah jauh, namun langkah kakinya semakin berat melangkah menghampiri pasukan hitam itu. Kakinya berjalan diatas tanah, namun ia merasa seolah tak berpijak disana, langkahnya gontai dan nafasnya semakin tak tertur mendekati pasukan hitam. Hingga tiba Larissa berada di antara pasukan hitam itu, semua wajah disana murung dan seketika langitpun mendung seolah-olah ikut bersedih bersama pasuka hitam itu.
Langkah kaki Larissa terhenti, sekujur tubuhnya gemetar, mulutnya seakan terkunci saat itu, namun ia harus membuka mlutnya seraya berkata
“ Innalillahi wa Innaialihi rajiun, sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali”.
“Ya Allah, ini nggak mungkin.” Ucap Larissa di depan gundukan tanah dengan sebuah papan yang menancap di penghujung gundukan tanah itu dan bertuliskan nama ‘Faiz Bin Rahlan’. Ya faiz si pendefinisi pahlawan yang ia ibaratkan pasukan putih, di hari itu ia di kelilingi oleh pasukan hitam, ya semua orang yang ada saat itu memakai baju hitam sebagai bentuk kesedihan mereka. Tangis, doa, dan taburan bunga tak henti tercurahkan paa saat itu. seketika badannya terasa lemas. Ia mendekati kedua sosok yang begitu murung wajahnya, kedua sosok itu adalah kedua orangtua Faiz. Larissa mengucapkan belasungkawa dan menanyakan pada penyebab kematian Faiz. Pihak keluarga Faiz pun mulai menjelaskan bahwa faiz sempat tertabrak motor saat perjalanannya menuju masjid untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah sebagaimana rutinitasnya setiap hari, , namun keluarga menjelaskan bahwa ia terlihat tidak apa-apa, hanya lecet di beberapa bagian tubuhnya. Beberapa orang yang menolong Faiz menawarkan untuk mengantarkannya ke rumah sakit, namun ia menolak karena waktu subuh sudah dekat dan ia hanya sedikit merasakan sakit di dadanya. Orang-orang sekitarnya pun percaya bahwa Faiz baik-baik saja, shalat subuh jamaah pun digelar penuh khusyuk. Faiz mengikuti semua gerakan shalat sang imam dengan tertib, namun pada sujud rakaat terakhir dalam shalatnya ia tak lagi mengikuti gerakan imam. Saat itulah Allah memangginya untuk kembali pada sebenar-benar tempat kembali.
Mendengar penjelasan keluarga Faiz, Larissa dan seniornya yang merupakan teman-teman Faiz hanya tertunduk haru mendengar kisah terakhir Faiz yang di tutup dengan kematian yang begitu indah. Langit yang kelabu saat itupun mulai menangis, air mata langit mulai membasahi Jakarta dan pusara Faiz. Larissa dan semua orang yang berada di pemakaman beranjak pergi berpulang. Pada penghujung kawasan pemakaman Kemayoran itu, Larissa kembali memandangi pusara dari pasukan putih itu seraya berkata
” Istirahatkan kak, sekarang engkau mengenakan pakaian putihmu yang akan kupakai juga. Semoga surga bagimu, aku disini akan melanjutkan segala perjuangan bersama pasukan putih yang tersebar di atas bumi dan segala kefanaanya.” Tuturnya dalam hati seraya pergi meninggalkan pemakaman.
—